Jumat, 20 Agustus 2010
Sekitar 2 tahun yang lalu, persis di Blog ini gua pernah nulis soal keresahan/kebingungan gua soal orang-orang yang doyan menghabiskan waktunya buat ngopi-ngopi di Coffe Shop....
Sebenarnya gak ada masalah sih tapi yang bikin gua bingung itu adalah apa sih yang ngebuat orang hingga rela ngehabisin duit hingga puluhan ribu untuk secangkir kopi dan ngabisin waktunya buat kongkow-kongkow di Coffe Shop itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, sekitar 2 tahun yang lalu gua berusaha menjawab pertanyaan yang ‘aneh’ itu.
Dan setelah gua memesan dan minum kopi itu, yang saya dapat hanya rugi besar karena rasa kopi itu gak jauh beda ama kopi tubruk hitam yang biasa Ibu gua beli di Pasar.
Saat itu, gua berpikir kalau hari itu adalah hari pertama dan (mungkin) terakhir buat gua masuk dan minum kopi di Coffe Shop.
Tapi?
Yang namanya kehendak Yang Diatas itu memang tidak bisa dilawan. Beberapa hari kemarin, gua diajakkin minum di sebuah coffe shop dengan brand yang sudah sangat mendunia, St*rb*ck.
Hm, gua bengong dan mikir bentar. Masak iya sih gua harus hamburin duit buat secangkir kopi hitam? Apalagi gaji belum turun dan sudah banyak tunggakan dimana-mana... Ha..Ha..
Tapi, sebuah tawaran menggiurkan rasanya sulit untuk ditolak. “Tenang aja, san. Gua traktir” itu sebuah tawaran yang rasanya orang BODOH yang bakal nolak.
Gua mencoba untuk tetap cool dan tenang, padahal ini raga sudah seperti di awang-awang karena mau ditraktir...
“Hm, kenapa gak di Exelso aja? Kan lebih enak kopinya?” kata gua dengan nada bijak. Padahal seumur hidup gua belum pernah masuk ke Exelso cuma sering lewat aja.
“Ah, gak enak san. Enakkan di St*rb*ck, lagian gua udah nitip biji kopi disana jadi bisa dapet murah” kata dia bijak.
“Ok, ayu aja” balas gua cool, persis kayak orang yang doyan nongkrong di Coffe Shop.
Setelah dapet parkiran akhirnya kita bertiga (gua, bung Panu eh Banu, dan bung AB) akhirnya sampai ke Coffe Shop yang dimaksud.
Ketika gua melangkah masuk, hati dan raga gua terasa bergetar. Ketika Christopher Columbus pertama kali menemukan benua Amerika yang dilakukannya adalah mencium tanah benua itu, yang pengen gua lakuin ketika menginjakkan kaki di St*rb*ck adalah mencium lantai di cafe ini. Soalnya ini adalah hari bersejarah karena ini kali pertama gua masuk ke coffe shop ini....
Ha...Ha.... Lebay.....
Biar kesannya gak kampungan dan ketauan kalau gua baru pertama kali masuk, gua berlaga layaknya orang yang doyan masuk kesini. Sebelum masuk, gua udah apal-apalin nama kopi yang paling laku disana.
Biar nanti kalau dia nanya, keliatan kalau gua sudah ahli dalam permasalah kopi-per-kopi-an. Jangan sampai kejadian seperti ini terjadi;
“San, kamu mau kopi apa?”
“Saya mau Kopi Tubruk Hitam yang ditumbuk ampe legit banget ya” jawab gua polos.
Kejadian itu gak akan PERNAH terjadi karena ilmu kopi gua sudah lumayan cukup dan kalau misalnya dia nanya:
“San, kamu mau kopi apa?”
Gua bakal jawab: “Hm, kopi Verona boleh atau kalau lu mau yang aromanya lebih tajem bisa nyobain kopi Venesia”
Aduh, keren banget kesannya. Mungkin dia bakal ngira kalau gua sering menghabiskan waktu di tempat ngopi-ngopi seperti ini.
Asoy bener....
Di dalam, gua perhatiin banyak orang yang nampaknya borju yang sedang menghabiskan waktu disini. Ada yang otak atik iPad, ada yang lagi main ular tangga sampai ada muda-mudi yang kerjaannya rangkulan mulu... Uh, bikin iri.
Lanjut,
Ternyata semua perkiraan gua salah karena dia gak nanyain gua mau kopi apaan karena dia udah punya stok biji kopi disana. Setelah ditumbuk sekitar 15-20 menit akhirnya kopi yang harganya mencekik leher (buat gua) ini datang juga.
Mata pun tak sanggup lagi membendung air mata untuk merayakan hari bersejarah ini. Selain mesen kopi dia pun mesen semacan teh gitu. Katanya baik buat badan dan pencernaan. Apalagi temen gua si Banu itu katanya bermasalah dengan pencernaan karena terlalu sering “berlama-lama” di toilet. Ngapain sih kamu Dik Banu?
Dia nuangin sedikit kopi buat gua dan sedikit buat dia. Tata cara minum kopi yang bener adalah ketika tuangan pertama tidak usah banyak-banyak secukupnya saja.
Pas si Banu mau ngembat itu kopi, Bung AB mengajarkan dulu etika minum kopi yang benar. Jangan langsung diminum tapi rasakan aroma yang keluar dari biji kopi yang telah ditumbuk itu.
“Hm, aroma baunya enak banget. Bau coklat halus.” kata dia sambil membaui itu kopi.
“Coba San, kamu cium, Aroma apa yang kamu cium?”
Jujur, gua gak tahu hidung gua kesumbat apaan atau emang hidung gua emang gak berfungsi dengan baik, gua kok nyiumnya kayak Minyak Jelantah yang disimpen di dalam sumur ya? Gua bingung, dia kok bisa bilang bau coklat halus?
Apaan yang coklat halus?
Tapi demi harga diri dan gengsi gua gak bakal bilang kalau yang gua cium adalah aroma minyak jelantah....
“Iya bener, baunya coklat murni. Enak banget aromanya nih” kata gua ngebokis abis.
Setelah membaui, dia mulai minum seteguk demi seteguk dan berujar “Enak banget rasanya!” dengan mata berbinar.
Gua pun gak mau kalah dari dia. Dengan gaya eksekutif muda yang doyan minum di coffe shop, gua mulai minum itu kopi....
Seteguk demi seteguk, gua mulai minum itu kopi dan mencoba merasakan kehangatan kopi itu yang bergumul di lidah.
Sluuuupppppp............... Hm, gua rasain dulu itu kopi dan gua
GAK BOONG tapi SUMPAH rasanya pahit banget kayak JAHE campur UBI Cilembu. Gua pengen banget muntahin itu kopi pahit dari mulut gua ke ember yang ada di depan gua tapi rasa gengsi gua mengalahkan segalanya.
Pahitnya lidahku ini
Sambil tahan nafas, gua mencoba nelen itu kopi setan. Tapi rasa pahitnya itu masih aja gak mau ilang. Kalau boleh milih, gua lebih milih nelen jangkrik dibanding nelen ini kopi.
“Gimana, San?” tanya dia tanpa curiga kalau sebenarnya gua lagi nahan rasa pahit yang sangat.
“Hm, sedikit pahit ya? But overall, pas” kata gua ngesok padahal yang bener bukan sedikit pahit tapi SANGAT pahit.
“Iya yang ini masih BOLD kalau biasanya sih gua yang extra BOLD” kata dia. Gua mikir dalam hati, anj*r yang BOLD aja paitnya aja udah kayak setan gimana yang Extra?
Dia tersenyum dan sepertinya dia termakan kibulan maut gua. Gak berapa lama, gua izin ke WC. Nyampainya di WC yang gua lakuin adalah:
1. Ambil tisu
2. Basahin pake air keran
3. Terus elap itu lidah gua yang rasa pahitnya gak ketulungan.
Aduh, nasib. Ditraktir kok malah nyiksa lidah gini. Mending gak usah deh ditraktir kalau modelnya kayak gini.
Setelah beres ngelap lidah, gua kembali ke sofa tempat gua duduk. Setelah mencoba kopi pahit itu kini giliran teh mint yang gua cobain...
Sekilasnya bentuknya kayak air kencing karena warnanya yang kuning pekat mirip air pipis. Uhuk, gua batuk bentar biar kesannya berwibawa dan gua mulai minum teh itu.
“Cobain San, ini teh rasanya enak banget. Ada rasa mint-mint nya gitu” kata dia sambil memperhartiin gua minum.
Gua minum bentar dan kok rasanya gini banget ya? Rasanya sulit untuk dideskripsikan. Apalagi gara-gara warnanya yang kuning itu, gua jadi berasa mimun air pipis tetangga gua yang masih bocah.
“Hm, enak. Terasa ya daun mintnya” kata gua (kembali) ngibul sambil minum seteguk demi seteguk itu teh.
Pun setelah gua tambahin gula ampe 2 sachet, itu rasa itu kopi ama teh gak ilang-ilang pahitnya. Entah lidah gua yang kampung atau emang yang bikinnya salah, kecampur ama jahe pas numbuknya.
Gua perhatiin harganya, kopi yang gua minum harganya 95rb dan teh kuning mirip pipis itu harganya 45rb. Gile itu harga, gak ketulungan. Seharga ayam satu ekor di deket rumah gua.
Setelah menyelesaikan hari yang melelahkan ini, gua duduk sebentar. Ganti baju dan buka sepatu. Gua ambil satu sachet kopi yang biasa bokap gua minum terus dituang ke dalam gelas dan campur pake air panas, Sambil duduk di deket jendela, gua minum itu kopi dan
ini kopi rasanya JAUH lebih enak (dan JAUH lebih manis) dibanding kopi setan yang tadi siang gua minum.
Sebenarnya gak ada masalah sih tapi yang bikin gua bingung itu adalah apa sih yang ngebuat orang hingga rela ngehabisin duit hingga puluhan ribu untuk secangkir kopi dan ngabisin waktunya buat kongkow-kongkow di Coffe Shop itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, sekitar 2 tahun yang lalu gua berusaha menjawab pertanyaan yang ‘aneh’ itu.
Dan setelah gua memesan dan minum kopi itu, yang saya dapat hanya rugi besar karena rasa kopi itu gak jauh beda ama kopi tubruk hitam yang biasa Ibu gua beli di Pasar.
Saat itu, gua berpikir kalau hari itu adalah hari pertama dan (mungkin) terakhir buat gua masuk dan minum kopi di Coffe Shop.
Tapi?
Yang namanya kehendak Yang Diatas itu memang tidak bisa dilawan. Beberapa hari kemarin, gua diajakkin minum di sebuah coffe shop dengan brand yang sudah sangat mendunia, St*rb*ck.
Hm, gua bengong dan mikir bentar. Masak iya sih gua harus hamburin duit buat secangkir kopi hitam? Apalagi gaji belum turun dan sudah banyak tunggakan dimana-mana... Ha..Ha..
Tapi, sebuah tawaran menggiurkan rasanya sulit untuk ditolak. “Tenang aja, san. Gua traktir” itu sebuah tawaran yang rasanya orang BODOH yang bakal nolak.
Gua mencoba untuk tetap cool dan tenang, padahal ini raga sudah seperti di awang-awang karena mau ditraktir...
“Hm, kenapa gak di Exelso aja? Kan lebih enak kopinya?” kata gua dengan nada bijak. Padahal seumur hidup gua belum pernah masuk ke Exelso cuma sering lewat aja.
“Ah, gak enak san. Enakkan di St*rb*ck, lagian gua udah nitip biji kopi disana jadi bisa dapet murah” kata dia bijak.
“Ok, ayu aja” balas gua cool, persis kayak orang yang doyan nongkrong di Coffe Shop.
Setelah dapet parkiran akhirnya kita bertiga (gua, bung Panu eh Banu, dan bung AB) akhirnya sampai ke Coffe Shop yang dimaksud.
Ketika gua melangkah masuk, hati dan raga gua terasa bergetar. Ketika Christopher Columbus pertama kali menemukan benua Amerika yang dilakukannya adalah mencium tanah benua itu, yang pengen gua lakuin ketika menginjakkan kaki di St*rb*ck adalah mencium lantai di cafe ini. Soalnya ini adalah hari bersejarah karena ini kali pertama gua masuk ke coffe shop ini....
Ha...Ha.... Lebay.....
Biar kesannya gak kampungan dan ketauan kalau gua baru pertama kali masuk, gua berlaga layaknya orang yang doyan masuk kesini. Sebelum masuk, gua udah apal-apalin nama kopi yang paling laku disana.
Biar nanti kalau dia nanya, keliatan kalau gua sudah ahli dalam permasalah kopi-per-kopi-an. Jangan sampai kejadian seperti ini terjadi;
“San, kamu mau kopi apa?”
“Saya mau Kopi Tubruk Hitam yang ditumbuk ampe legit banget ya” jawab gua polos.
Kejadian itu gak akan PERNAH terjadi karena ilmu kopi gua sudah lumayan cukup dan kalau misalnya dia nanya:
“San, kamu mau kopi apa?”
Gua bakal jawab: “Hm, kopi Verona boleh atau kalau lu mau yang aromanya lebih tajem bisa nyobain kopi Venesia”
Aduh, keren banget kesannya. Mungkin dia bakal ngira kalau gua sering menghabiskan waktu di tempat ngopi-ngopi seperti ini.
Asoy bener....
Di dalam, gua perhatiin banyak orang yang nampaknya borju yang sedang menghabiskan waktu disini. Ada yang otak atik iPad, ada yang lagi main ular tangga sampai ada muda-mudi yang kerjaannya rangkulan mulu... Uh, bikin iri.
Lanjut,
Ternyata semua perkiraan gua salah karena dia gak nanyain gua mau kopi apaan karena dia udah punya stok biji kopi disana. Setelah ditumbuk sekitar 15-20 menit akhirnya kopi yang harganya mencekik leher (buat gua) ini datang juga.
Mata pun tak sanggup lagi membendung air mata untuk merayakan hari bersejarah ini. Selain mesen kopi dia pun mesen semacan teh gitu. Katanya baik buat badan dan pencernaan. Apalagi temen gua si Banu itu katanya bermasalah dengan pencernaan karena terlalu sering “berlama-lama” di toilet. Ngapain sih kamu Dik Banu?
Dia nuangin sedikit kopi buat gua dan sedikit buat dia. Tata cara minum kopi yang bener adalah ketika tuangan pertama tidak usah banyak-banyak secukupnya saja.
Pas si Banu mau ngembat itu kopi, Bung AB mengajarkan dulu etika minum kopi yang benar. Jangan langsung diminum tapi rasakan aroma yang keluar dari biji kopi yang telah ditumbuk itu.
“Hm, aroma baunya enak banget. Bau coklat halus.” kata dia sambil membaui itu kopi.
“Coba San, kamu cium, Aroma apa yang kamu cium?”
Jujur, gua gak tahu hidung gua kesumbat apaan atau emang hidung gua emang gak berfungsi dengan baik, gua kok nyiumnya kayak Minyak Jelantah yang disimpen di dalam sumur ya? Gua bingung, dia kok bisa bilang bau coklat halus?
Apaan yang coklat halus?
Tapi demi harga diri dan gengsi gua gak bakal bilang kalau yang gua cium adalah aroma minyak jelantah....
“Iya bener, baunya coklat murni. Enak banget aromanya nih” kata gua ngebokis abis.
Setelah membaui, dia mulai minum seteguk demi seteguk dan berujar “Enak banget rasanya!” dengan mata berbinar.
Gua pun gak mau kalah dari dia. Dengan gaya eksekutif muda yang doyan minum di coffe shop, gua mulai minum itu kopi....
Seteguk demi seteguk, gua mulai minum itu kopi dan mencoba merasakan kehangatan kopi itu yang bergumul di lidah.
Sluuuupppppp............... Hm, gua rasain dulu itu kopi dan gua
GAK BOONG tapi SUMPAH rasanya pahit banget kayak JAHE campur UBI Cilembu. Gua pengen banget muntahin itu kopi pahit dari mulut gua ke ember yang ada di depan gua tapi rasa gengsi gua mengalahkan segalanya.
Pahitnya lidahku ini
Sambil tahan nafas, gua mencoba nelen itu kopi setan. Tapi rasa pahitnya itu masih aja gak mau ilang. Kalau boleh milih, gua lebih milih nelen jangkrik dibanding nelen ini kopi.
“Gimana, San?” tanya dia tanpa curiga kalau sebenarnya gua lagi nahan rasa pahit yang sangat.
“Hm, sedikit pahit ya? But overall, pas” kata gua ngesok padahal yang bener bukan sedikit pahit tapi SANGAT pahit.
“Iya yang ini masih BOLD kalau biasanya sih gua yang extra BOLD” kata dia. Gua mikir dalam hati, anj*r yang BOLD aja paitnya aja udah kayak setan gimana yang Extra?
Dia tersenyum dan sepertinya dia termakan kibulan maut gua. Gak berapa lama, gua izin ke WC. Nyampainya di WC yang gua lakuin adalah:
1. Ambil tisu
2. Basahin pake air keran
3. Terus elap itu lidah gua yang rasa pahitnya gak ketulungan.
Aduh, nasib. Ditraktir kok malah nyiksa lidah gini. Mending gak usah deh ditraktir kalau modelnya kayak gini.
Setelah beres ngelap lidah, gua kembali ke sofa tempat gua duduk. Setelah mencoba kopi pahit itu kini giliran teh mint yang gua cobain...
Sekilasnya bentuknya kayak air kencing karena warnanya yang kuning pekat mirip air pipis. Uhuk, gua batuk bentar biar kesannya berwibawa dan gua mulai minum teh itu.
“Cobain San, ini teh rasanya enak banget. Ada rasa mint-mint nya gitu” kata dia sambil memperhartiin gua minum.
Gua minum bentar dan kok rasanya gini banget ya? Rasanya sulit untuk dideskripsikan. Apalagi gara-gara warnanya yang kuning itu, gua jadi berasa mimun air pipis tetangga gua yang masih bocah.
“Hm, enak. Terasa ya daun mintnya” kata gua (kembali) ngibul sambil minum seteguk demi seteguk itu teh.
Pun setelah gua tambahin gula ampe 2 sachet, itu rasa itu kopi ama teh gak ilang-ilang pahitnya. Entah lidah gua yang kampung atau emang yang bikinnya salah, kecampur ama jahe pas numbuknya.
Gua perhatiin harganya, kopi yang gua minum harganya 95rb dan teh kuning mirip pipis itu harganya 45rb. Gile itu harga, gak ketulungan. Seharga ayam satu ekor di deket rumah gua.
Setelah menyelesaikan hari yang melelahkan ini, gua duduk sebentar. Ganti baju dan buka sepatu. Gua ambil satu sachet kopi yang biasa bokap gua minum terus dituang ke dalam gelas dan campur pake air panas, Sambil duduk di deket jendela, gua minum itu kopi dan
ini kopi rasanya JAUH lebih enak (dan JAUH lebih manis) dibanding kopi setan yang tadi siang gua minum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar