Selasa, 23 Agustus 2011

Bintang yang Hilang

Jumat, 19 Agustus 2011, pukul 04:45

Setelah urusan teduh selesai, hari ini gua akan menepati janji yang telah lama gua ucapin kalau doa puasa gua selama ini dijawab. Janji gua adalah gua ingin bersepeda menempuh ratusan kilometer menuju sebuah kost di sebuah Kabupaten yang berada di Jawa Barat. Karena doa gua dijawab di tanggal 17 Agustus, cepat atau lambat gua harus menepati janji gua itu.

Awalnya gua kurang yakin, apakah gua masih kuat? Apakah encok di pinggang gua gak kambuh? Apakah pantat gua gak akan semutan? Apakah selangkangan gua gak akan kram? Jika 2-3 tahun lalu, gua rasa gua masih sanggup untuk melahap ratusan kilometer karena saat itu gua sedang senang-senangnya bersepeda. Karena buat gua bersepeda itu sungguh menyenangkan. Selain menyehatkan, gua berasa nampak keren ketika bersepeda. Di saat orang lain menggunakan motor atau mobil, gua berbeda sendiri dengan menggunakan sepeda. Dan menurut gua itu keren banget. Rute terjauh yang pernah gua kunjungin adalah sebuah stadion sepak bola di Jawa Barat. Kalau gak salah, gua menghabiskan waktu hampir 12 jam untuk sampai kesana dan ternyata gua berhasil menuju kesana walau dengkul kaki gua rasanya hampir mau remuk.

Ditambah dengan kondisi gua yang sedang berpuasa, gua menjadi pesimis untuk menepati janji gua. Tetapi gua selalu ingat, janji adalah ‘sesuatu’ hal yang harus dibayar, bagaimanapun caranya. Gua mempersiapkan diri sebaik mungkin, gua bawa baju ganti, handuk merah pinjeman ‘seseorang’, dan MP3 Player buat menemani hari itu.

Sengaja gua gak bawa minum karena gua gak mau puasa gua batal karena hal ini. Tapi gua sangat enjoy dan sudah tidak sabar untuk melewati hari ini.

Pukul 05:15 lebih sedikit,

Gua pergi dalam kondisi rumah yang masih sunyi. Bokap dan kakak masih terlelap, hanya Nyokap yang sudah bangun dan sedang memasak. Gua pamit ke nyokap dan nyokap pun heran ngapain gua pergi pagi-pagi. Gua jawab dengan senyum sambil berkata “Pergi untuk menepati janji”

Gua mulai menggowes sepeda. Selama di perjalanan, tak henti-hentinya gua tersenyum. Sesekali pikiran gua teringat akan ‘dia’ sambil bertanya dalam hati “Apa dia sudah bangun?”, “Mimpi apa dia hari ini?”, “Semoga dia gak telat makan biar gak sakit”, “Apa di pagi ini dia sudah buka alkitab dan baca ayat yang gua smsin?”

Perjalanan ini akan sangat panjang dan selama itu pula, gua yakin bisa menepati janji gua. Seperti janji gua untuk selalu berpuasa buat dia tiap hari yang berhasil gua jalani dengan sukses walau sebelumnya gua diragukan dan dicibir karena banyak yang nganggep gua gak akan tahan. Tapi jika semuanya dijalani dengan hati yang ikhlas, pasti bisa kan?

Daerah Ujung Berung,

Gua sekarang sudah sampai di daerah Ujung Berung, suasana sudah mulai ramai. Matahari sudah mulai muncul dan menyinari bumi. Matahari pun seperti menyinari hati gua. Setiap berpapasan dengan banyak orang di jalan, gua selalu mencoba untuk tersenyum. Gua gak peduli dikira orang gila atau Joker yang doyan cengengesan, tetapi yang ada di pikiran gua saat itu, gua sangat bahagia. Gua ingin membagi kebahagiaan yang sedang gua rasakan dengan orang banyak.

Di kuping gua sekarang, lagu SO7 sedang mengalun. Judulnya “Seberapa Pantas”, sambil mendengar lagu itu, gua pun mulai berpikir apakah sebenarnya gua itu pantes buat jadi cowok dia? Dengan segala kekurangan, dengan segala kesalahan gua, apakah gua itu pantas? Apa gua itu pantas buat ngisi hari-hari dia? Saat itu dengan angkuh, gua jawab “Gua Pantas”. Dengan segala kekurangan yang gua punya, gua punya cara sendiri buat dia bahagia. Gua punya cara sendiri agar dia bisa melewati hari-hari ini dengan senyum di wajahnya.

Daerah Cibiru,

Ini daerah favorit gua. Bukan karena banyak tukang jajanan kayak cakue, batagor, dll. Tetapi karena dengan melewati daerah ini, semakin dekatlah gua bertemu dengan dia. Biasanya kalau berkunjung ke kost dia, gua menggunakan motor dan begitu gua melewati jalan ini, biasanya gua tersenyum karena sebentar lagi gua bakal ketemu dia. Sebentar lagi, gua akan memainkan rambutnya yang ikal, sebentar lagi gua akan bercerita banyak hal dan sebentar lagi, gua akan mendengar banyak cerita pula dari mulut dia.

Pukul 06:20,

Gua keluar dari Kota Bandung. Sambil terus menggowes gua melewati gapura yang bertuliskan “Selamat Jalan”. Jujur, saat itu gua merasa sangat letih, lunglai, dan lemas. Keringat gak pernah berhenti menetes dari kepala gua. Setiap menetes selalu gua usap dengan sapu tangan warna merah itu. Dia mungkin sama sekali gak sadar tetapi setiap kali gua mengusap dengan sapu tangan merah itu, gua selalu merasa dikuatkan, gua selalu merasa ditemani. Dan jujur, saat itu gua ngerasa haus banget. Di depan gua ada tukang susu coklat yang begitu menggoda. Dengan logo sapi yang terpampang di gerobak itu, rasanya begitu menggoda gua untuk icip-icip susu rasa coklat.

Tapi?

Gua gak mau puasa gua batal, gua gak mau hanya karena gua haus dan karena gua tergoda untuk icip-icip susu itu, puasa gua gagal. Masih banyak doa gua buat dia yang belum dijawab. Gua acuhkan mata gua dari godaan sapi itu dan mulai terus menggowes.

“San, lu bisa kan nunggu gua ampe bulan November” sebuah pertanyaan dari dia di suatu hari ketika gua lagi berboncengan dengan dia.

“Bisa, walau berat tapi gua yakin bisa” jawab gua sambil menghindari lobang di jalanan…..

Depan Kampus IPDN,

Sekarang gua sudah berada di depan Kampus IPDN. Inget kampus ini berarti inget video-video menyeramkan yang sempat menghebohkan. Ah, gua gak peduli karena yang gua tau, gua sudah semakin dekat dengan janji gua. For You Info, jalanan di depan kampus IPDN bisa gua ibaratkan sebagai ‘tanjakkan setan’ karena jalanannnya nanjak banget. Saat itu, pantat gua sudah mulai kram, betis gua sudah senat senut dan yang pasti jari-jari tangan gua seperti sudah mati rasa. Buat ngupil pun rasanya udah gak bisa dipakai. Gua mulai menggowes, melewati jalanan yang nanjak itu dan pikiran gua kembali, memikirkan dia…

“Sani apa lu yakin dengan gua” kata dia suatu saat. Pertanyaan yang selalu dia ulang-ulang hingga gua tau apa makna dibalik pertanyaan itu.

“Yakin, gua selalu yakin” jawab gua optimis. Selama gua sedang menjalin hubungan, rasanya baru kali ini gua ngerasa kalau gua yakin. Ngerasa yakin kalau gua bakal hidup dia jadi lebih berwarna. Ngerasa yakin buat ‘menjangkau’ seluruh hatinya yang mungkin masih tertutup oleh kenangan masa lalu.

Di kuping gua sekarang lagi mengalun lagu Jikustik ‘1000 tahun lamanya’: “Bila kau sanggup untuk melupakan dia, biarkan aku hadir dan menata, ruang hatimu yang telah tertutup lama” Gua bernyanyi sambil terus menggowes. Gak peduli suara jelek, gak peduli suara gua sumbang karena yang ada di pikiran gua, gua ingin menunggu dia walau harus menunggu 1000 tahun lamanya… Lebay dikit (hihihihi)

“Selamat Datang di Universitas Padjajaran”

Akhirnya gua sampai juga di kampus dia. Jam sudah menunjukkan pukul 09:15. Mobil dan motor mulai hilir mudik. Gua duduk bentar di depan kampus itu. Ambil nafas panjang, menggoyang-goyangkan jari-jari tangan yang mati rasa, dan merenggangkan kaki yang rasanya sudah siap diamputasi. Duduk bentar di trotoar, dan gua baru sadar kalau trotoar ini tiap malam ‘disulap’ jadi angkringan. Dan di trotar ini adalah pertama kalinya gua makan bersama dia. Di bawah lampu yang remang-remang dan dinginnya malam, gua bercerita banyak hal dengan dia. Hal-hal lucu, menyenangkan, memalukan, dan segalanya yang ada di pikiran gua, gua ceritain ke dia.

“Ah yang bener?”, “Lupa gua” adalah kata-kata yang dia biasanya dia gunakan buat menjawab cerita-cerita gua. Mungkin dia sudah melupakan segala kenangan gua dan dia dulu, mungkin dia sudah tutup buku akan cerita kita yang dulu. Ya, jika gua adalah dia, gua pun bakal menutup buku semua kenangan buruk itu dan mulai melangkah ke depan.

“Sani, nih cobain” kata dia sambil menyodorkan piring berisi daging yang ditusuk. Saat itu di angkringan, suasanya tidak terlalu ramai. Karena penasaran, gua ambil daging yang ditusuk itu. Gua kunyah bentar dan rasanya ternyata enak. Kenyal-kenyal gimana gitu bikin lidah tidak berhenti mengecap.

“Ini apaan ya?” tanya gua polos

“Ini brutu, enak ya?

“Brutu? Brutu tuh apaan ya?” dan entah kenapa mendengar nama itu perasaan gua jadi gak enak.

“Brutu tuh dubur ayam” jawab dia sambil cengengesan.

“Hah, dubur ayam?” gua shock. Dubur kan anus? Subhanallah, gua makan anus ayam. Yang ada di pikiran gua saat itu adalah buang ini dubur dari mulut gua dan segera minum air suci buat membersihkan mulut gua dari dubur ayam itu.

Malam itu dia juga bercerita banyak hal terus menutup pembicaraan dengan kalimat “Percaya ya San, yang namanya jodoh itu gak akan kemana-mana”. Gua balas dengan sebuah anggukkan.

Setelah beristirahat bentar, gua mulai melanjutkan perjalanan. Gua mulai menggowes menuju tempat kostnya. 10 menit kemudian, akhirnya gua sampai di depan kostnya. Jelas, dia gak akan ada disitu karena dia sekarang ada di rumahnya. Gua perhatiin bentar kamarnya yang berada di lantai atas. Jendelanya dibuka dan sebenarnya gua sih harap banget dia ada disitu lagi noongin gua di bawah, walau gak mungkin.

Hampir 15 menit gua berada di depan kost nya. Mungkin orang-orang bakalan ngira gua adalah maling yang sedang memperhatikan target. Tapi gua gak peduli karena yang ada di pikiran gua saat itu, gua sekarang adalah cowok dia dan gua BERHASIL menepati janji gua.

Hati gua lega, gua tenang, gua ngerasa gak punya janji lagi. Gua mulai menggowes untuk pulang. Selama perjalanan pulang, gua melewati banyak tempat. Gua melewati sebuah mall yang ada disitu. Mall biasanya gua pake buat sedikit ‘mencerca’ dia dan biasanya kalau gua ‘cerca’ muka dia bakal merengut manja. Hihihihi. Ada juga restoran yang namanya SOLASIDO, plesetan dari Restoran SOLARIA. Kalau mata gak jeli, mungkin kita bakal kecele, ngira kalau ada restoran SOLARIA di kabupaten Sumedang. Tapi masak iya sih ada? Ups….

Hari ini gua berhasil menepati janji gua, dia gak tau, temen-temen dia juga gak tau, temen-temen gua gak ada yang tau, tapi gua gak peduli karena gua ngerasa bangga dengan diri gua sendiri yang berhasil menepati janji

Selasa 22 Agustus, pukul 04:25

Yang namanya kebahagiaan itu terlalu cepat pergi dari gua. Kalau boleh protes, gua pengen banget protes, kenapa kebahagiaan itu terlalu cepat pergi dari gua. Ya, gua putus dengan dia.

Gua awali hari dengan teduh sebentar, tapi yang berbeda dari hari ini adalah biasanya gua selalu kirim sms ayat-ayat Alkitab ke dia agar kita bisa teduh bareng walau berada di ruang yang berbeda. Gua tau, dia mungkin udah gak mau baca atau nerima sms gua tentang ayat-ayat itu jadi cukup gua saja yang baca untuk dia.

Dan entah kenapa gua jadi ingin mengulang perjalanan jauh gua ke kabupaten Sumedang dengan menggunakan sepeda. Dengan hati yang hancur, mata yang sembab, pikiran yang kalut, gua jadi ingin mengulang rute yang sama. Gua sama sekali gak berbenah, gua berangkat dengan baju tidur gua. Dengan mata yang sembab, dengan rambut yang acak-acakkan dan dengan hati yang hancur…

Perjalanan ini jadi begitu terasa berat tetapi setidaknya bisa memaksa gua berpikir. Berpikir jernih tentang hubungan kita yang susah payah gua bangun dan sukses hancur dalam sekejap.

“Gua labil, gua gak bisa tegas ke diri gua dan diri dia” kalimat yang awalnya selalu bisa gua jawab dan yakinkan dia kalau dia PASTI bisa malah jadi alasan utama gua putus ama dia. Saat bersama dia, gua selalu berusaha buat dia nyaman, buat dia senang, dan buat dia bisa move on dari masa lalunya.

Gua sama sekali gak pernah mengharapkan pamrih dari apa yang gua lakuin ke dia. Tetapi setidaknya kalau boleh, gua meminta sedikit ‘lebih’ ke dia ketika dia memutuskan hubungan kita. Bukan cuma lewat telpon dengan kata-kata sederhana “Maaf, gua gak bisa san, lanjutin hubungan kita”, “Bilangin maaf ke nyokap dan kakak lu” yang diucapkan tanpa beban bahkan nyaris diucapkan oleh cowok dia yang sekarang. Rasanya terlalu sederhana buat gua mengerti dan terlalu ringan buat dia. Apa gak bisa kita ngobrol baik-baik dengan hati terbuka, tanpa harus ada tekanan? Kenapa harus si cowok yang ngehubungin gua? Apa dia yang menjalani hubungan sesama jenis dengan gua?

Gua masih ingat sms dia di suatu hari "Gua tuh gak bisa pergi ninggalin dia begitu aja, gak elite kalau harus ngomongin soal ini lewat perantara, gua harus ketemu dia langsung" Pertanyaanya kemudian kenapa harus kayak gitu ke gua? Itu hal yang sama sekali gak bisa gua terima…

Gua baca message dia yang dikirim tempo hari, isinya “it is too early to say i love you..but yes, i do love you…, yang gua bales “Nothing too early or too late to say I love you, cause love not about the time to say that but about the time you feel that. I love you too...”

Rasanya begitu cepat kebahagiaan itu pergi. Begitu mudahnya kita mengatakan I Love You tetapi begitu mudah juga buat kita untuk menghapus kalimat itu dalam ingatan.

Gua selalu berkata ke dia Step By Step dan gua yakin dia bakal bisa lupa akan masa lalunya. Step By Step, Step By Step… Gua ulang kata itu hingga tidak ada artinya lagi buat gua….

Kalau selama ini hubungan kita hanya balas dendam, sungguh ini adalah sebuah balas dendam yang sempurna….

Kalau selama ini hubungan kita hanya main-main, sungguh ini adalah sebuah permainan yang cantik…

Dan kalau selama ini hubungan kita hanya basa-basi, sungguh ini adalah sebuah basa-basi yang mendekati kenyataan…

Lanjut,

Gua memang akhirnya berhasil sampai di kabupaten itu (lagi), dengan kondisi gua yang mirip gembel ditambah perasaan gua yang sedang kalut dan hati yang hancur. Tapi, saat itu gua sama sekali gak punya tujuan apa-apa. Entah kenapa harus gua bersepeda kesini? Gua gak bisa jawab….

Malamnya gua duduk di teras, sambil menunggu buka puasa jam 7, gua duduk sambil ngeliatin langit. Dulu, ketika ada bintang-bintang di langit gua pernah ngegombal “Tau gak kenapa bintang di langit hilang satu?”

Dia jawab “Emang kenapa”,

“Karena bintangnya ada di mata kamu” jawab gua gombal.

Yup, mungkin sekarang bintang itu sudah hilang dari mata kamu… Dan saya percaya

“sama halnya dengan hidup, seburuk apapun hari kemarin. Tuhan selalu menyediakan hari yang baru untuk saya. Untuk memperbaiki kesalahan dan melanjutkan alur cerita yang hendak saya isi dalam buku kehidupan milik saya”

Tidak ada komentar: