Minggu, 31 Maret 2013

Selalu ada Jalan

Belum lama ini, kakak gue yang baru gajian, traktir kita sekeluarga makan enak. Biasanya kalau gak dia yang traktir, ya gue yang traktir. Ganti-gantian aja.

Bukan di Cafe atau resto mahal sih. Jangan bayangin kalau kita sekeluarga makannya di Restoran Western, Restoran France, atau Restoran Korea yang bahkan buat nyebut menunya aja ribet banget.

Selain belum tentu cocok ama lidah, kakak dan bokap gue tuh paling gak demen makan di tempat-tempat kayak gitu. Apalagi kakak gue, setiap diajak bos-nya meeting di Restoran mahal pasti mesennya cuma Jus Jeruk dan Nasi goreng.

Please dong bro, kalau lu milihnya nasi goreng, gue masih mampu beliin lu deh.

Biasanya kita sekeluarga mampir di kedai Mie di sekitaran Naripan. Selain cocok di lidah, kedai ini adalah langganan nyokap dan bokap waktu masih pacaran dulu, hihihi.

Tapi tau gak, setiap kakak gue ngajak sekeluarga makan, biasanya sehabis dia gajian atau baru dapat bonus, gue selalu teringat kejadian 8 tahun lalu. Sekitar tahun 2005.

Tiap kakak gue bilang "Nanti malam kita makan enak yuk" atau "Aku baru dapet rejeki hari ini, kita makan di luar yuk", ingatan gue PASTI langsung tertuju kejadian 8 tahun silam. Entah kakak atau ortu masih ingat atau sudah lupa tapi kalau gue pasti selalu ingat.

Tahun 2005 adalah tahun dimana kakak baru lulus dari bangku SMA. Nyokap tentu cari kampus yang terbaik buat dia dan dari 3 kampus yang kakak daftar, Puji Tuhan semuanya diterima.

Setelah berdoa dan berpuasa, akhirnya kakak memilih salah satu kampus di daerah Ciumbeuluit, jurusan arsitektur. Kampus swasta yang cukup terpandang dan yang pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk kuliah disana.

Sebelum bokap pensiun dari kerjanya, bokap sudah mengalokasikan dana buat pendidikan gue dan kakak. Semuanya terasa akan berjalan lancar dan baik-baik saja hingga di suatu hari menjelang pembayaran uang pendaftaran, salah satu saudara tiba-tiba harus mengalami musibah dan harus segera menjalani operasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Karena ini adalah urusan hidup dan mati seseorang maka tanpa pikir panjang, biaya untuk kuliah itu dipake dulu untuk membantu biaya operasi. Itu pun masih jauh dari kata cukup walaupun akhirnya operasi tetap dijalankan dengan pertimbangan sudah ada uang muka.

Permasalahan muncul adalah ketika pihak kampus sudah menetapkan tanggal deadline untuk melakukan pembayaran uang pembangunan. Jika tidak bisa bayar, maka nama kakak akan dicoret sebagai salah satu calon mahasiswa disana.

Mustahil rasanya dalam 1 minggu bisa mengumpulkan uang belasan juta rupiah untuk melakukan pembayaran uang muka kuliah. Meminjam ke orang pun rasanya bukan langkah bijak karena keluarga gue bukan orang yang suka berhutang dan tidak suka merepotkan orang lain.

Di suatu malam, gue yang kebetulan lagi melintas di depan kamar nyokap mendengar pembicaraan kecil antara nyokap, bokap, dan kakak. Intinya kakak bersyukur karena saudara bisa dioperasi dan berdoa agar yang bersangkutan bisa cepat sembuh. Dia sama sekali tidak mempersoalkan soal uang kuliah yang dipake untuk biaya operasi dan jika di tahun ini dia memang belum diberi jalan untuk kuliah, dia akan mengisi tahun ini dengan bekerja dan tahun depan akan mencoba untuk mendaftar kuliah lagi,

"Sabar ya kak, pasti ada jalan. Besok mama coba tanya-tanya ke Ibu-Ibu di Gereja mungkin mereka ada lowongan untuk kamu bekerja" kata nyokap dengan suara bergetar menahan tangis.

"Iya ma, gak apa-apa. Aku juga bakal cari kerja. Nanti aku nabung agar tahun depan bisa melanjutkan kuliah" jawab kakak.

Gue sih pengen banget bantuin kakak dan ortu. Tapi saat itu gue juga masih bersekolah dan nominal saldo gue di Bank masih di kisaran ratusan ribu hasil dari honor gue menulis cerpen. Masih sangat jauh dari cukup bahkan buat beli perlengkapan arsitektur kakak juga masih kurang jauh,

Setelah bertanya kesana kemari, ada salah seorang saudara jauh membutuhkan seorang karyawan untuk kantornya. Karena kakak tergolong pintar, dia ditawari untuk menjadi admin yang bertanggung jawab dalam pembukuan. Di telpon disepakati gaji kakak untuk pekerjaan itu adalah 1,5 juta.

Saat itu ya bro, nyokap dan kakak gue bener-bener bahagia banget. Puji syukur rasanya gak ada habis-habisnya di hari itu. Gue, kakak dipeluk nyokap sambil berurai air mata. Gue langsung disuruh beli abon di toko depan rumah.

Gue yang biasanya kalau disuruh suka "iya ntar-ntar" khusus buat hari itu gue langsung berangkat. Nyokap ternyata mau bikin nasi kuning. Dalam pikiran gue, nyokap bakalan bikin tumpeng dan gue sudah membayangkan gue bakal jadi orang pertama yang motong itu ujung tumpeng.

Sambil goreng kerupuk, nyokap juga  iris-iris telur buat ditaburin di atas nasi kuning. Ternyata nyokap gak lagi buat nasi tumpeng, nyokap lagi buat nasi kuning buat dibagi-bagiin ke tukang becak dan tukang sampah di sekitaran rumah.

Setiap ditanya sama tukang becak yang dikasih dalam rangka apa bagi-bagi nasi kuning, apa si dede (baca: gue) habis disunat jadi bagi-bagi nasi? Nyokap pasti jawabnya "Anak saya yang sulung diterima kerja, besok mulai kerja. Gajinya 1,5 jt, ini ada sedikit berkat"

Mungkin saking senengnya, nyokap gue sampai gak sadar kalau nominal gaji kakak juga sampai disebutin, hehehe.

Malamnya, nyokap sudah setrika banyak baju untuk hari pertama kakak kerja. Bokap gue yang sudah pengalaman kerja kasih banyak wejangan ke kakak agar pekerjaannya lancar. Malamnya, sebelum tidur kakak ngehampirin gue dan bilang "Nanti kalau kakak sudah gajian di bulan kedua, kakak beliin buku yang kamu suka"

*Tosh* gua dan kakak saling bertepuk tangan :)

Besoknya, sebelum berangkat kerja, kita berdoa bersama agar di hari pertama kakak bekerja, semuanya berjalan dengan lancar. Sebuah kecupan di kening dari nyokap, mengantar keberangkatan kakak ke kantor barunya.

Semuanya terasa akan berjalan baik-baik saja, hingga pukul 11 siang kakak sudah pulang ke rumah. Ini aneh. Aneh karena sebelumnya sudah diberitahukan kalau kakak akan bekerja mulai pukul 8 pagi sampai 5 sore.

"Kamu kenapa" tanya nyokap dengan suara bergetar

"Aku disuruh pulang ma ama tante yang disana" jawab kakak sambil menahan kesedihan.

Nyokap pun mikir, apa kakak ada salah ngomong yang menyinggung orang disana? Tapi rasanya gak mungkin kalau kakak sampai salah ngomong karena gue juga tahu banget kakak gue itu selain pendiam, sangat terjaga dalam hal berucap. Belum lagi pemilihan katanya yang baik sehingga rasanya agak mustahil kalau kata-kata dia menyinggung orang.

Kakak cerita, saat itu dia hanya ditanya "Kenapa kamu mau kerja disini?" yang dijawab oleh kakak "Untuk mengumpulkan biaya masuk kuliah". Setelah itu ditanya "Apa cita-citamu dan kenapa kamu pengen jadi itu", kakak jawab "Ingin menjadi seorang arsitek karena sejak dulu ingin membangun sebuah Gereja dan ingin membangunkan sebuah rumah untuk adik"

Rasanya tidak ada yang salah dari jawaban-jawaban kakak. Apa jangan-jangan dia disuruh pulang karena gue ya? Jangan-jangan itu Tante nanya "Siapa nama adik kamu" dan setelah tau nama adiknya si Sani, si Tante langsung mikir "Oh jangan-jangan ini kakakknya si Sani yang nakal dan suka jailin anak gue di sekolah?"

Kapok deh gue jadi anak nakal kalau sampai kejadian kayak gitu.

Saat itu gue bisa melihat kesedihan yang sangat mendalam dari nyokap, gue tau banget dia lagi nahan kesedihan yang begitu dalam. Bukan, bukan karena nyokap gue sedih karena bakalan malu sudah bagi-bagi nasi kuning tapi gak taunya kakak batal masuk kerja. Tapi nyokap gue sedih karena gak kuat liat anaknya sedih. Namanya Ibu tentu beda dengan Ayah ya, perasaannya lebih sensitif apalagi kalau menyangkut anak laki-laki.

Gak lama nyokap masuk kamar dan gue yakin banget saat itu nyokap pasti nangis. Gue liat kakak gue juga menangis. Gue yang biasanya gak gampang nangis jadi ikut sedih juga. Gue pengen banget bantu tapi apa yang bisa gue lakuin? Kalau duit simpenan gue bisa ngebantu, gue rela banget kalau itu uang diambil semua buat kakak.

Tetapi salah satu ajaran nyokap gue dari kecil adalah, jangan pernah menyalahkan orang lain, jangan pernah menyalahkan Tuhan ketika sesuatu hal yang buruk menimpa kamu. Tentu semuanya sudah diatur olah Yang Di Atas bukan?

Malamnya, dengan mata yang merah karena habis nangis, nyokap ngomong ke kakak agar dia sabar. Nyokap juga ngomong besok bakalan ke Gereja lagi, nanya-nanya mungkin ada lowongan kerja untuk kakak. Dia minta kakak tetap berdoa dan tetap bersyukur dengan apapun yang terjadi.

Besoknya sekitar jam 8 pagi, tante yang kemarin nyuruh kakak pulang menelpon dan menyuruh kakak untuk datang kembali. Tentu seisi rumah kaget, ada apa ya ini? Apa mungkin kakak bakal diterima kerja lagi? Atau ada apa ini?

Nyokap langsung setrika baju terbaik untuk kakak dan sambil diantar bokap, kakak kembali datang ke kantor yang sama. Nyokap di rumah menunggu sambil harap-harap cemas. Sesekali dia masuk ke kamar yang gue yakini masuk untuk berdoa.

2 jam kemudian kakak pulang, sambil menangis dia cerita "Ma, tadi aku ketemu ama Tante lagi disana. Selain Tante ada Om juga, tante bilang kalau mulai besok aku gak usah kerja disana lagi. Tante bilang semua biaya kuliah aku dan uang masuk aku ditanggung oleh mereka. Semua biaya untuk keperluan di kampus juga bakalan ditanggung mereka, syaratnta aku cukup rajin belajar"

Wow, luar biasa. Nyokap, kakak larut dalam tangis. Bukan tangis kesedihan seperti malam sebelumnya tapi tangis kebahagiaan. Gue juga pengen ikut nangis tapi gue tahan-tahan takut ketauan sisi melankolis gue, hehehe. Pertolongan Tuhan itu selalu tepat waktu, tidak pernah terlambat dan tidak pernah terlalu cepat. Semuanya selalu tepat waktu :)

Gue selalu berpikir, coba kalau waktu itu kakak marah-marah ke bokap dan nyokap karena uang kuliah dia dipake buat bayar operasi saudara? Coba kalau waktu itu kakak gak mau bekerja karena malu? Coba kalau waktu itu nyokap nelpon tante dan marah-marah karena menyuruh kakak pulang di hari pertama dia kerja? Tentu akhirnya tidak akan seperti ini.

Terkadang kita memikirkan sesuatu masalah dengan pemikiran kita sendiri, kita mencari jalan dengan pemikiran yang kita anggap baik. Tetapi kita sering lupa bahwa apa yang baik buat kita belum tentu baik buat orang lain.

Nyokap gue selalu ngomong, sejahat apapun perlakuan orang ke kamu, serendah apapun kamu di mata orang tetapi ketika dia datang dan meminta pertolongan ketika sedang mengalami kesusahan, kamu harus tetap menolong. Kalau perlu sebelum dia minta tolong, kita yang menawarkan pertolongan. 

Berat memang. Menurut kamu susah gak sih, ketika hati kamu sudah terlalu sakit tetapi ketika ada kesusahan kita datang dan menawarkan bantuan? Menurut gue ya bakalan sangat-sangat-sangat berat ya tetapi belajar dari cerita kakak gue yang ditolong hingga bisa seperti sekarang, sesuatu yang berat itu menjadi terasa ringan.

Jiwa yang miskin adalah jiwa yg selalu merasa kekurangan. Jangan pernah bandingkan hidup kamu dengan orang yang berada di atas kita. Bandingkanlah hidup kita dengan orang yang berada di bawah, belajarlah untuk selalu bersyukur. Belajarlah kasih dari orang yang membenci kamu, belajar tulus dari orang yang memperalat kamu. Belajar setia dari orang yang mengkhianati kamu, belajar berkata jujur dari orang yang membohongi kamu, dan belajarlah bertahan dari orang yang memberi kamu ketidakpastian..

Don't matter what you look like. Don't matter what you wear. How many rings you got on your finger, I don't care. Don't matter where you come from. Don't even matter what you are. Find out who you are. You got to dig a little deeper. It really ain't that far. When you find out who you are, you'll find out what you need. Blue skies and sunshine guaranteed

Gue tersenyum kalau ingat cerita 8 tahun silam itu. Sambil menikmati mie yamien, gue lagi asyik dengerin kakak cerita. Kakak gue lagi bawel jelasin project hotel yang sedang dia bangun ke nyokap dan bokap. Sesekali nyokap ngelap mulut kakak yang belepotan karena terlalu antusias bercerita.

Oh, GOD. Thanks for everything :)

Tidak ada komentar: